Pointer masih mengedip-ngedip di pojokan
atas kertas kosong, menunggu aku mendapat inspirasi untuk menulis. Tapi aku
pernah membaca suatu tweet yang mengatakan “menulislah, baru kau akan mendapat
inspirasi”, aku beranikan untuk menulis, semoga aku mendapat apa yang
dimaksudkan petuah tweet yang aku baca, ibu masih berkoar-koar karena belum
selesai kerjaannya, adik lagi makan bakso, bapak sedang menggoda ibu yang lagi
naik pitam, dan usahanya berhasil. Ibu tertawa.
Masih tidak ada inspirasi, buku cover biru
‘dear zarrys’ merayuku untuk mendongengkan kepada malam.
“Bagaimana
kami tahu bahwa cinta kam cukup jernih untuk tertuang di atas gelas yang Tuhan
sediakan? Seberapa erat kami memeluk? Merekahkah bibir malaikat yang
melihat-lihatnya? Apa kami telah saling menguatkan untuk hanya maut yang
memisahkan? Sebab kami tidak memantaskan diri sendiri seakan kami hendak
memelihara hati kami di tengah ketidak-relaan, melainkan kami cukup berharap ada
ketilusan untuk kami cukup berharap ada ketulusan untuk melihat kami
berdampingan.”
Zarry Hendrik mengarang kalimat-kalimat
tadi, seorang penyiar radio di Jakarta dan juga penulis buku, dua perkajaan
yang aku dambaakan.
Masih belum ada inspirasi, terlalu banyak
ide untuk dituangkan dalam suatu tulisan ‘perkenalan’ blog, akupun sadar, pasti
tidak ada yang membaca bualan tidak penting ini, entah.
Setidaknya untuk tulisan pertama di blog
ini , aku telah belajar mengetik dengan sepuluh jari.
Comments
Post a Comment